Sejarah Photography

| Selasa, 15 November 2016
                                     Sejarah Photography

Sejarah fotografi di Indonesia tidak lepas dari momen perjalanan bangsa dan keterkaitannya dalam perubahan politik-sosial yang terjadi di Indonesia. Fotografi mulai masuk di Indonesia pada era 1840 saat seorang petugas medis, Juriaan Munich yang berasal dari negeri kincir angin, Belanda ini diberi tugas untuk mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia, sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Saat itu, Munich menggunakan daguerrotype, yaitu metode atau proses percetakan yang diciptakan pertama kalinya oleh dua orang sahabat dari Perancis, Louis Daguerre dan Nicophore Niepce pada tahun 1834 dan diumumkan penemuannya di tahun 1839. Ia yang pertama kali membawa dunia fotografi ke Indonesia dan sejak saat itu, kamera menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai pemerintah Belanda untuk menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan atau penempatan pasukan dan meriam, melainkan dengan cara menguasai teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini, fotografi difungsikan lewat pekerja administratif kolonial, pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris.
Singkat cerita, pada akhirnya Munich tercatat dalam sejarah fotografi dan karyanya dianggap paling sukses saat itu karena ia memotret alam di Jawa Tengah yang dikenal dengan “Kali Madioen”. Kemudian tugas tersebut diteruskan oleh Adolph Schaefer yang tiba di Batavia (sekarang bernama Jakarta) pada tahun 1844. Schaefer juga berhasil memotret objek-objek foto patung Hindu-Jawa dan foto Candi Borobudur. Sampai akhirnya dua bersaudara asal Inggris, Albert Walter Woodbury dan James Page datang ke Indonesia pada tahun 1857, yang menjadi titik terang mulainya sejarah pendokumentasian di Indonesia secara menyeluruh. Foto-foto yang dihasilkan kedua bersaudara ini adalah seperti, upacara-upacara tradisional, suku-suku pedalaman dan bangunan-bangunan kuno di Indonesia.
Selama 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia (1841-1941), penguasaan alat ini secara eksklusif berada di tangan orang Eropa, Cina, dan Jepang. Berdasarkan survei dan hasil riset di studio foto-foto komersial di Hindia Belanda, hanya ditemukan empat orang lokal Indonesia yang menguasainya, salah satunya adalah Kassian Cephas.
Kassian Cephas adalah warga lokal asli Indonesia. Ia lahir pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta. Cephas sebenarnya adalah pribumi asli, yang kemudian diangkat sebagai anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft, dan disekolahkan ke Belanda. Cephas lah yang kemudian mengenalkan dunia fotografi ke masyarakat Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah Indonesia sangat jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional. Nama Kassian Cephas mulai terlacak lewat karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.
Selain Cephas, fotografer Indonesia lainnya adalah Mendur bersaudara. Masuknya Jepang pada tahun 1942 telah memberikan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyerap teknologi ini. Demi kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kantor berita mereka, Domei. Pada saat itulah, Mendur bersaudara mendapat kesempatan untuk membentuk imaji baru tentang bangsa Indonesia.
Lewat fotografi, Mendur bersaudara berusaha menggiring mental bangsa ini untuk memiliki mental yang sama tinggi dan sederajat. Frans Mendur bersama kakaknya, Alex Mendur juga menjadi icon bagi dunia fotografer nasional. Mereka kerap merekam peristiwa-peristiwa penting bagi negeri ini, salah satunya mengabadikan detik-detik pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Inilah momentum di mana fotografi benar-benar “sampai” ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai bisa merepresentasikan dirinya sendiri. Karya foto monumental lainnya adalah foto pidato Bung Tomo, serta foto karya Frans Mendur yaitu, foto Soeharto yang sedang menjemput Panglima Besar Jendral Soedirman sepulang dari perang gerilya di Jogja pada tahun 1949.
Kini fotografi menjadi sebuah karya sekaligus kitab peradabaan cahaya masa lalu dan masa kini, bagi orang-orang yang tak lelah untuk terus mengabadikan segala bentuk peristiwa yang nantinya akan menjadi sejarah bangsa Indonesia. Kamu juga mau ikut berperan dalam sejarah fotografi Indonesia? Mau jadi fotografer profesional? IDS | International Design School menyediakan Kursus Fotografi dengan pengajar profesional dan berkompetensi di dunia fotografi.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲